Kelasku
akan dimulai lima
menit lagi, sedangkan diriku masih duduk menunggu selesainya sepeda diperbaiki,
di bengkel, setengah jalan dari rumahku. Aku gelisah memandangi sepeda biru
rusak yang di belikan ayah tahun lalu. Keringat dingin terus bercucuran memenuhi
seluruh wajahku mengingat jarak dari rumah ke sekolah biasa ditempuh dalam
waktu 20 menit, dan sekarang aku malah duduk disini. Di bengkel milik Pak
Rohim. Dia langganan setiaku. Walaupun dia hanya kubayar 500 rupiah, tak pernah
kulihat dia marah ataupun menggerutu. Aku menyayanginya layaknya ayahku sediri.
Sepedaku pun
telah selesai di renovasi. Dengan nafas ngos-ngosan kutelusuri jalanan ramai
nan panas itu. Mungkin hari ini hari sialku, tapi aku tak pantang menyerah
dengan semua rintangan apapun. Entah semalam aku bermimpi apa, pasti ada saja
halangan yang menghadangku. Memang sekarang hari sibuk sampai-sampai jalanan
padat oleh kendaraan dan polusi hingga macet melanda. Nafasku kini tak dapat
ditenangkan. Kuterobos gerombolan mobil yang berdesakan dan beriringan walau
harus kutaruhkan nyawa ini. Kalau tidak begitu aku akan telat sampai sekolah.
Sekolah
Bhineka Tunggal Ika dapat kulihat dari kejauhan. Aku dapat melihat pagar besi
sekolah yang belum ditutup. Biasanya jam segini gerbang itu sudah tertutup.
Mungkin Pak Somad lagi baik hati sama murid teladan sepertiku. Teladan, telat
datang pulang duluan, hehehe… Biasanya sih kata itu yang sering kudengar dari
teman-teman. Tapi jangan salah sangka dulu sama aku. Karena, meskipun aku
sering telat, tapi nilai sekolah boleh dibilang top cer lho.
Dulu ketika
aku masih di kelas SD, juara satu selalu kuraih. Sekarang tinggal melihat saja
apakah aku bisa mempertahankan titel the best ku itu. Semoga aku tak dimarahi
oleh bu Tina, karena dia telah hadir di kelas. Bu Tina itu cantik plus manis
tapi garangnya….bikin teman sekelas mendadak jantungan. Hehehe… gak segitunya
sih. Ya ampun bu Tina menghampiriku yang sedari tadi menyelinap mencari-cari
peluang agar dapat masuk ke kelas tanpa diketahuinya. Padahal aku sudah
berusaha buat ngumpet di tempat tak strategis yang jarang di lirik oleh bu
Tina. Berarti tanaman di balik semak ini sekarang tempat strategis musuh alias
bu Tina. Tap tap tap tap, suara sepatu bu Tina dapat kudengar dari tempatku.
‘Aduh begimana nih?!’ kata hatiku meronta berharap pertolongan dari seseorang
datang. Tapi do’aku akhirnya sia-sia karena bu Tina telah menemukan tempat
persembunyianku. Alamak muka bu Tina sangar kali. “Eka! Ngapain kamu disitu!”
Bentak bu Tina membuatku serasa terpelanting dan shook. Aku hanya terdiam
seribu bahasa. Mataku takut menatap wajah bu Tina yang killernya sesekolahku
itu. “Kamu telat ya?!” tanyanya dengan nada masih membentak. Lagi-lagi badanku
serasa tertimpuk benda keras. “Ayo, ikut saya ke kantor!” titah bu Tina
disambung dengan anggukan dariku.
Siang itu
aku resah memegangi sepucuk kertas yang barusan aku dapat dari ruang BP. Apa
yang harus kukatakan pada kedua orangtuaku. Mungkinkan mereka akan marah. Aku
menghela nafas dalam-dalam. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi.
Rumahku
sangat besar dan luas. Berpagar besi meninggi berwarna hijau. Halaman rumahku
pun tak kalah luas, ditanami rerumputan hijau serta pohon cemara yang rindang.
Kubuka pagar besi itu, ‘Drit..’ Suasana rumah sepi. Mungkin mama masih sibuk
dengan teman arisannya dan papa pasti sibuk dengan tugas kantornya. Mereka
berdua memang sama-sama sibuk. Seluruh waktunya dihabiskan untuk bergelut
dengan dunia luar. Tak pernah sesekali aku melihat papa dan mama bersama-sama
duduk di depan televisi, mengobrol bersama, ataupun bercanda ria. Wajah mereka
selalu tampak kusut sehabis pulang bekerja. Aku sedih melihat mereka. Ingin
rasanya aku, papa, dan mama saling bercengkrama. Tak perlu jauh-jauh, menciumku
ketika aku terlelap tak pernah mereka fikirkan. Sampai di rumah, hanya tv, hp,
dan laptop yang dapat menghiburku atau kalau tidak sahabat dan temanku. Kumasukkan
sepeda biruku kedalam garasi lalu bergegas masuk. “ Assalamu’alaikum” ucapku
seraya membuka pintu masuk besar di rumah. Tapi tak ada sautan apapun dari
dalam. Yah benar sekali, mereka belum kembali. Seperti biasanya, aku langsung
naik ke lantai dua, tempat kamar tidurku berada. Ku hempaskan tubuh ini ke
kasur empuk berwarna pink dengan gambar Barbie menghiasinya. Kamarku serba
pink. Mulai dari kasur, dinding kamar, sampai perabotan milikku semuanya pink,
kecuali sepeda pancal biruku, karena bukan aku yang menginginkan sepeda itu
tapi ayahku.
Matahari
masuk melalui celah-celah korden dan jendela yang tertutup. Menelusuk sampai
kulit terluarku. Disambut pula oleh deringan alarm milikku. Eh, masih ada lagi
ternyata, suara apaan itu? Sepertinya suara papa dan mama, tapi gak
biasa-biasanya mereka ngobrol. Lebih baik aku tengok aja mereka. Sambil menguap
perlahan-lahan aku kendurkan saraf-saraf dan otot yang ada di tubuhku. Kuturuni
tangga lalu pemandangan apakah yang kulihat. Papa dan mama bertengkar heboh.
Aku langsung berlari dan melerai mereka yang mulai memainkan tangan mereka. “Ada apa pa, ma?” tanyaku
hati-hati. Mereka semula saling melirik tajam, setelah mendengar pertanyaanku,
mata mereka agak meredup. Mama memulai pembicaraan, “Eka, kamu gak sekolah? ini
kan sudah jam
berapa” mama terdengar mengalihkan pembicaraan tadi. Mau bagaimana lagi, aku
sebagai anak harus menurut pada kedua orangtua apalagi mama. “iya ma, tapi…”.
“Apa lagi Ka?!” bentak mama, aku langsung lari dengan badan agak bergetar. Mata
itu, teriakan itu, tak pernah kubayangkan sebelumnya mama menjadi galak. Otakku
berputar tak karuan. Banyak sekali bayangan melintas dibenakku. Aku tak ingin
memikirkan ini! Badanku serasa lemas, mungkin berbaring sebentar membuatku
tenang. Setelah itu, aku bergegas mandi, mengenakan seragam dan syyuuutt…..
melesat pergi ke sekolah. Sebelum sampai depan rumah, biasanya aku bersalaman
dengan mama dan papa, atau lebih dikenal dengan salim. Tapi, semenjak kejadian
15 menit lalu, batang hidung mereka tidak nongol lagi, kemana mereka?. Aku
menarik nafas dan berusaha menganggap semua masa bodo. Aku segera berangkat
dengan sepeda mini pemberian papa dengan hati yang yah.. sedikit bergemuruh.
“Assalamu’alaikum….”
Katanya pelan, membuyarkan lamunanku yang sedang duduk di rerumputan hijau
belakang sekolah. “Wa’alaikum salam”jawabku. Dia Mira, sahabat satu-satunya
yang kumiliki. Tak seperti teman-teman lain, mereka kadang bergandengan
bersama, berkelompok setidaknya 5 orang dan aku menginginkannya, seperti
mereka. Terkadang aku ingin meninggalkan sobat karibku ini karena aku bosan,
kemana-mana slalu berdua, ke kantin, ke perpustakaan, sampai ke mall kita selalu
berdua. Tapi sepertinya Mira tak pernah keberatan ataupun bosan denganku,
entahlah, mungkin karena dia orangnya gak supel seperti aku. Memandang wajahnya
aku tak tega menjauhi apalagi harus bermusuhan selamanya. Ya, itulah namanya
sahabat sejati. “Kenapa sih Ka, mukamu kok di tekuk?” tanyanya dengan logat
Jawa yang masih kental. Walaupun tiga tahun bersekolah di daerah berpenduduk
Madura, dia tak pernah berubah, masih kalem, ramah dan tidak pelit senyuman.
Aku kadang iri padanya. Dia dari keluarga baik-baik, tidak seperti aku, punya
keluarga berantakan, entah kapan kedua orangtuaku sadar akan kasih sayang yang
semakin pudar. “Eka…” katanya lagi. “Eh.. iya Mir?” jawabku gelagapan. “hemm…
Eka, kamu kayaknya hobi ngelamun ya?”. “Enggak kok, emangnya kenapa?”. Mira
agak memanyunkan mulutnya ketika mendengar jawabanku. “Wong tadi kamu gak jawab
pertanyaanku”. Dahiku mengerut, “Oh… gak papa, ngeliat alam rasanya seger
banget. Rasanya pengen tetep disini terus” kataku menjelaskan sambil menghirup
udara sejuk. “Oh..” jawabnya singkat. “Mir,” kataku, aku seperti ingin curhat
sesuatu pada Mira, tapi apa ya. “Ada
apa?” jawab Mira seakan tau apa yang kumaksud. “Ehm, gak, gak jadi” kataku
mengeles. “Kamu ada masalah ya Ka?” Tanya Mira tiba-tiba. Mata Mira
menyentakku. Apa aku harus mengatakan padanya kalau aku gak pengen temenan sama
dia lagi. Masa sih harus kukatakan, itu bisa membuatnya sakit hati. “Mir, aku..
aku pengen makan bakso. Nanti janjian yuk! Lagi pengen nich…!” kataku
berbohong. “Oke!” jawabnya sambil memberi kode dengan jarinya. Aku
menghembuskan nafas bohong ini jauh-jauh.
Pulang
sekolah aku langsung pulang kerumah karena udah janji sama Mira supaya gak
telat. Sambil membuka pintu aku mengucapkan salam. Betapa terkejutnya diriku
ketika melihat seorang lelaki asing duduk di sofa ditemani oleh mama yang sibuk
menyisiri rambut lelaki tak dikenal itu. Marahku pun meledak “Mama! Siapa orang
ini?!” tanyaku gak karuan sambil menunjuk kearah lelaki itu. Mama terlihat
bingung dengan kedatangan mendadakku. “Ss, sayang.. ini teman mama, namanya Om
Rio”. “Apa?! Temen?! Aku gak percaya! Masa temen harus pegang-pegangan tangan
sih ma?!” teriakku menggema seisi rumah. “aku benci mama!” aku berlari menuju
kamar dan tak menghiraukan panggilan mama. Tas, sepatu,dan hp kubiarkan
berserakan. Hatiku kalut, sedih, marah, kecewa, dendam, campur aduk jadi satu.
Air mataku terus mengalir deras membasahi bantal biru kesayanganku. Tiba-tiba
aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut lalu semua tampak samar dan aku
pingsan.
Sore itu
Mira datang ke rumahku. Ketika aku sudah siuman, dia langsung melontarkan
pertanyaan-pertanyaan sepanjang mungkin, aku sampai tak bisa menjawabnya, “
Mir, satu-satu dong tanyanya!” kataku kesal. Mira tersenyum, “Iya… Kenapa kamu
bisa pingsan Ka?” tanyanya membuatku tergerak. “Hem? Gak papa, mungkin
kecapean”. “ masa kecapean, kan
gak ada kegiatan apapun setelah pulang sekolah”. Aduh, Mira seperti mendorongku
supaya berbicara yang sebenarnya. “Gak tahu ah! Yang penting kan sekarang udah gak papa”. “Oh ya, kita jadikan
makan baksonya?” Tanyanya mengganti topik pembicaraan. “ Jadi dong!”. Lets go!
Makan bakso
gak selera. Melamun lebih selera mungkin buatku. “Kamu kenapa Ka?”. Lamunanku
pun buyar seketika, “hem? Oh, ini ni baksonya enak jadi kebayang-bayang rasanya
ampe otak”. “hahaha.. gitu ya” jawabnya. Aku hanya meringis. “Eka… katanya
besok di sekolah ada murid baru ya” tanyanya, “Eka…”. “Eh ada apa Mir?” jawabku
terbata-bata setelah di tegur Mira. “Hemm…. Ya udah deh besok aku ceritain.
Kamu kayaknya lagi gak konsen ya Ka?” tanyanya lagi. “Iya Mir… Oh ya Mir, aku
ada janji nih sama papa, ya udah ya bye!” kataku menyudahi pembicaraan karena
aku gak mau Mira tanya macem-macem. Mira membalas dengan melambaikan tangan
juga.
“Mira!”
teriakku padanya. “hey!” teriaknya juga dengan melambaikan tangannya padaku.
Aku mendekatinya, “Mir, katamu pingin ngomong sesuatu. apa?” tanyaku. Mira
tampak berfikir, “Oh, yang kemaren, itu lho, katanya sekolah kita kedatangan
murid baru. Kata temen-temen sih anaknya laki-laki. kata mereka juga, dia
tampan, putih, pokoknya cool deh!” kata Mira panjang lebar. Mendengarnya saja,
aku seperti sudah tahu tingkah laku dan karakternya. Pasti dia anaknya sombong,
sok tampan, dan yang pasti playboy. “Ka, udah bel, yuk masuk!” ajak Mira
memecahkan lamunanku. Aku dan Mira memasuki kelas dengan sumringah. Entahlah,
mungkin karena gosip cowok tadi.
Kelas pun
dimulai. Tapi tak ada tanda-tanda Bu Diah masuk ke kelas, dia guru Fisikaku,
dia baik, sabar, dan bijaksana, dia juga guru faforitku. Bu Diah tidak biasanya
datang terlambat, dia pasti nomor satu, tapi kenapa sekarang malah telat? Apa
dia sakit?. Tebakanku itu ternyata salah, dia memang telat, tapi dia tidak
kenapa-kenapa, malahan dia membawa seseorang di belakangnya, laki-laki
berpostur tinggi, putih, cool, dan tampan. Siapa lagi kalau bukan lelaki yang
diceritakan Mira tadi pagi, sebab di mataku dia sangat asing. “Hei anak-anak…
Bu guru ingin memperkenalkan murid baru pada kalian. Ayo nak perkenalkan
dirimu” kata Bu Diah menyuruhnya berbicara. Dia agak gugup, “hhalo semua…”
katanya lalu dijawab oleh murid sekelas dengan serempak. “Nama saya Alan, saya
murid pindahan dari Banjarmasin.
Bla..bla..bla…” ucapnya. Kemudian, Bu Diah memilihkan tempat duduk kosong untuk
di duduki Alan dan tak di duga-duga, tempat duduk itu berada di sampingku.
Kebetulan banget yah. Aku sih biasa-biasa aja, gak seperti yang lain, pada
gigit jari melihat ketampanan si Alan, begitu juga dengan Mira.
Kantin saat
itu penuh, jadi aku dan Mira memutuskan untuk makan di kelas saja. Tapi sebelum
kami berbalik, ada seseorang yang memanggil namaku dengan kerasnya hingga aku
pun terdengar. Aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling. Aku melihat Alan
melambaikan tangan ke arahku, tapi masa sih. Mungkin anak lainnya. Aku pun
berpaling lagi, tapi suara itu menghentikan langkahku lagi. Ya Ampun, ternyata
memang Alan yang memanggilku untuk bergabung bersamanya. Melihatnya sendirian
membuatku kasihan, jadi aku dan Mira mau menemaninya makan bersama. Kami
berjalan ke arahnya dan duduk di bangkunya. “ Kamu Eka kan?” tanyanya membuatku bingung, dia ini
tahu apa gak sih ke aku, kalau tahu kenapa masih nanya. “em, iya” jawabku
seadanya. “Dan kamu?” tanyanya pada Mira membuatku terkejut. Dia mengenaliku
tapi tak mengenali Mira. Mungkin karena Mira pendiam. “Aku Mira” jawab Mira
akhirnya. Alan mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa detik kami saling
berdiam diri. Jadi gak enak. Aku mencoba untuk memulai berbicara, “Kamu…”
kataku dan Alan bersamaan. Lho, kok bisa. “kamu dulu deh Ka” kata Alan menyilahkanku
berbicara dulu. Aku jadi gerogi, “kamu, maksudku, kenapa kamu pindah jauh-jauh
ke Jember?” kataku. “ya, pingin tau aja” katanya singkat sambil senyum-senyum.
Kenapa anak ini? Apa dia kesambet?. “Trus, kamu mau ngomong apa?” kataku lagi.
Dia agak tersentak dengan ucapanku, melihatnya aku jadi ikut-ikutan. “gak deh,
gak jadi. Hehe..” katanya tertawa kecil, aku dan Mira pun ikutan tertawa.
Karena Alan bersendawa sambil tertawa, kami pun tertawa lepas.
Semenjak
pertemuanku dengan Alan, aku ingin terus tersenyum, entah kenapa. Mengingatnya
menjadi hati dag dig dug tak menentu dan itulah yang membuat diriku tak
berhenti tersenyum. Pintu rumah terbuka lebar. Kemana semua orang? Kok sepi.
Tunggu, aku mendengar suara teriakan dari dalam kamar mama dan papa. Ku hampiri
kamar mereka, di lantai kedua. Nafasku terengah-engah saking cepatnya aku
berlari. Kulihat dari lubang kecil di pintu kamar mama dan papa. Terdapat dua
orang yang saling bertengkar hebat. Mereka mama dan papa. Hari-hari ini mereka
sering berselisih. Aku mendengarkan percakapan mereka secara seksama, ada
kata-kata selingkuh dan uang tapi terdengar samara-samar. Apa papa telah
mengetahui kalau mama bareng sama om-om di rumah. Tapi, di situ juga ada
kata-kata uang. Aku tak tahu ah. Lebih baik aku ke kamar daripada harus
mendengar dialog rumit ini. Entah kenapa tiba-tiba air mataku mengalir seiring
mendengar suara mereka. Ya Allah kuatkanlah hambamu.
‘kring…kring…’
suara bel sepeda membangunkan tidur nyenyakku. Dengan lendir yang masih melekat
di dekat mulutku, aku beranjak bangun dan melihat siapa orang itu dari balik
jendela. Percaya atau tidak, dia Alan!. Ngapain pagi-pagi ke rumahku?. Mana aku
belum mandi lagi. Waduh… bisa gawat nih!. Aku bergegas pergi ke kamar mandi
untuk sekedar membasahi muka kotorku. Setelah semua bersih, aku pergi
membukakan pintu untuk Alan, sedari tadi dia mematung di depan pintu. “eh Alan,
ada apa?” kataku. “Eka, anu..” katanya tergagap-gagap. “ayo masuk dulu” kataku
mengajaknya duduk di sofa. Dia hanya mengangguk. “kemana orang-orang? Kok
sepi.” Tanyanya. “oh.. orangtuaku semua bekerja, disini cuma ada aku dan satu
pembantu” jawabku, “ngomong-ngomong ada apa kamu kesini? Pagi-pagi lagi” sedari
tadi ingin kutanyakan hal ini. Dia tampak gagu, “gak papa, Cuma pengen tau rumahmu.”.
“oh...” jawabku merasa aneh.
BErSamBunGG....
Maap kalo ada nama dan tempat yang kembar sama kaliann... sorryy... :D
Maap kalo ada nama dan tempat yang kembar sama kaliann... sorryy... :D
Gimana??? Apa kalian penasaran???
Kalau nggak,,
yaaa.... cerpennya nggak aku selesaikan
Beri komentar yang good bin the best yah...!!
Beri komentar yang good bin the best yah...!!
Widiw bagus :) ceritanya ber alur gak asal to the point aja. Link lanjutannya dong :) makasih
BalasHapusmakasih udah dikomen. Tapi, maaf yah, cerpennya ditunda dulu. hehe ;)
BalasHapusmaaf bangett. menurut kamu nih, endingnya paling bagus tuh gimana?