Sabtu, 22 Agustus 2015

Aku Dia Berbeda


Seakan hati ini mengontrol
apa ini?
Senangnya melihatnya terduduk santai di teras itu
esoknya masih seperti itu
dengan gayanya yg ala
ingin ku menjerit
Aaaaaaakkkhhh!
Bahagianya..
Sekarang, sikap itu tak ku pandang lagi
sedikit acuhnya membuatku telah sadar
bahwa...
Kita sangatlah berbeda
berbeda sekali....
Tembok berlinpun tak lebih kuat dari perbedaan kita
apalagi sungai missisipi...
Aku memang aneh menilai kejanggalan di hati ini
aku menggemarinya dari awal
walau aku tak pernah tau namanya
hari ini, jam ini, detik ini
semoga hatiku yg suka dia melebur oleh jalannya poros kehidupan ini...
Mohonku padaMU

Senin, 19 Mei 2014

My Self, Yourself

:D diluar
:'( Didalam

tidak ada yang tau apa yang kurasa didalam

terkadang aku membenci diriku

aku benci ketika mataku memerah dan semua orang tau kalau aku menangis ;(

Selamat tinggal, cintaku
Selamat tinggal, mimpi tak sampaiku
aku mencoba untuk tidak memikirkanmu
Bisakah kau biarkan aku?

Gadis muda, tidak apa
Tangismu akan kering, kamu akan segera bebas untuk terbang
Gadis muda, berpeganglah erat dan kamu segera melihat hari cerahmu

hampi mati didalam

Kamu boleh merasa lelah, tapi itu tidak berarti kamu sendiri

Merasa seakan tidak ada yang mengertimu

Hanya karena matanya tak mengeluarkan airmata, bukan berarti hatinya tak menangis

Aku lelah dengan semua omong kosong ini

aku "baik2" saja

Tetaplah kuat

Mungkin aku tak menangis, tapi itu sakit
Mungkin aku tak ingin mengatakannya, tapi aku merasakannya
Mungkin aku tak menunjukkannya, tapi aku perduli

Kamu tidak mengerti

kepala tegak,
tetap kuat,
senyum yang palsu (perez)


Jangan menagis. Jangan sembunyi. tapi.... BEBASLAH.... ( aku pengen banget kayak foto ini... bisa bebassss... tapi kapan??? :'(  
aku hanya butuh untuk melupakan laki-laki yang telah melupakanku

Kau kira kau mengenalku? Fikirkan kembali.

kehidupan telah membuatku jatuh beberapa kali 
itu menunjukkan padaku sesuatu yang tak pernah ingin kulihat
aku mengalami kesedihan dan kegagalan 
tapi satu hal yang pasti, saya selalu bangkit

Rabu, 05 Desember 2012

Cinta Monyet Anak SMP


            Kelasku akan dimulai lima menit lagi, sedangkan diriku masih duduk menunggu selesainya sepeda diperbaiki, di bengkel, setengah jalan dari rumahku. Aku gelisah memandangi sepeda biru rusak yang di belikan ayah tahun lalu. Keringat dingin terus bercucuran memenuhi seluruh wajahku mengingat jarak dari rumah ke sekolah biasa ditempuh dalam waktu 20 menit, dan sekarang aku malah duduk disini. Di bengkel milik Pak Rohim. Dia langganan setiaku. Walaupun dia hanya kubayar 500 rupiah, tak pernah kulihat dia marah ataupun menggerutu. Aku menyayanginya layaknya ayahku sediri.
            Sepedaku pun telah selesai di renovasi. Dengan nafas ngos-ngosan kutelusuri jalanan ramai nan panas itu. Mungkin hari ini hari sialku, tapi aku tak pantang menyerah dengan semua rintangan apapun. Entah semalam aku bermimpi apa, pasti ada saja halangan yang menghadangku. Memang sekarang hari sibuk sampai-sampai jalanan padat oleh kendaraan dan polusi hingga macet melanda. Nafasku kini tak dapat ditenangkan. Kuterobos gerombolan mobil yang berdesakan dan beriringan walau harus kutaruhkan nyawa ini. Kalau tidak begitu aku akan telat sampai sekolah.
            Sekolah Bhineka Tunggal Ika dapat kulihat dari kejauhan. Aku dapat melihat pagar besi sekolah yang belum ditutup. Biasanya jam segini gerbang itu sudah tertutup. Mungkin Pak Somad lagi baik hati sama murid teladan sepertiku. Teladan, telat datang pulang duluan, hehehe… Biasanya sih kata itu yang sering kudengar dari teman-teman. Tapi jangan salah sangka dulu sama aku. Karena, meskipun aku sering telat, tapi nilai sekolah boleh dibilang top cer lho.
            Dulu ketika aku masih di kelas SD, juara satu selalu kuraih. Sekarang tinggal melihat saja apakah aku bisa mempertahankan titel the best ku itu. Semoga aku tak dimarahi oleh bu Tina, karena dia telah hadir di kelas. Bu Tina itu cantik plus manis tapi garangnya….bikin teman sekelas mendadak jantungan. Hehehe… gak segitunya sih. Ya ampun bu Tina menghampiriku yang sedari tadi menyelinap mencari-cari peluang agar dapat masuk ke kelas tanpa diketahuinya. Padahal aku sudah berusaha buat ngumpet di tempat tak strategis yang jarang di lirik oleh bu Tina. Berarti tanaman di balik semak ini sekarang tempat strategis musuh alias bu Tina. Tap tap tap tap, suara sepatu bu Tina dapat kudengar dari tempatku. ‘Aduh begimana nih?!’ kata hatiku meronta berharap pertolongan dari seseorang datang. Tapi do’aku akhirnya sia-sia karena bu Tina telah menemukan tempat persembunyianku. Alamak muka bu Tina sangar kali. “Eka! Ngapain kamu disitu!” Bentak bu Tina membuatku serasa terpelanting dan shook. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Mataku takut menatap wajah bu Tina yang killernya sesekolahku itu. “Kamu telat ya?!” tanyanya dengan nada masih membentak. Lagi-lagi badanku serasa tertimpuk benda keras. “Ayo, ikut saya ke kantor!” titah bu Tina disambung dengan anggukan dariku.
            Siang itu aku resah memegangi sepucuk kertas yang barusan aku dapat dari ruang BP. Apa yang harus kukatakan pada kedua orangtuaku. Mungkinkan mereka akan marah. Aku menghela nafas dalam-dalam. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi.
            Rumahku sangat besar dan luas. Berpagar besi meninggi berwarna hijau. Halaman rumahku pun tak kalah luas, ditanami rerumputan hijau serta pohon cemara yang rindang. Kubuka pagar besi itu, ‘Drit..’ Suasana rumah sepi. Mungkin mama masih sibuk dengan teman arisannya dan papa pasti sibuk dengan tugas kantornya. Mereka berdua memang sama-sama sibuk. Seluruh waktunya dihabiskan untuk bergelut dengan dunia luar. Tak pernah sesekali aku melihat papa dan mama bersama-sama duduk di depan televisi, mengobrol bersama, ataupun bercanda ria. Wajah mereka selalu tampak kusut sehabis pulang bekerja. Aku sedih melihat mereka. Ingin rasanya aku, papa, dan mama saling bercengkrama. Tak perlu jauh-jauh, menciumku ketika aku terlelap tak pernah mereka fikirkan. Sampai di rumah, hanya tv, hp, dan laptop yang dapat menghiburku atau kalau tidak sahabat dan temanku. Kumasukkan sepeda biruku kedalam garasi lalu bergegas masuk. “ Assalamu’alaikum” ucapku seraya membuka pintu masuk besar di rumah. Tapi tak ada sautan apapun dari dalam. Yah benar sekali, mereka belum kembali. Seperti biasanya, aku langsung naik ke lantai dua, tempat kamar tidurku berada. Ku hempaskan tubuh ini ke kasur empuk berwarna pink dengan gambar Barbie menghiasinya. Kamarku serba pink. Mulai dari kasur, dinding kamar, sampai perabotan milikku semuanya pink, kecuali sepeda pancal biruku, karena bukan aku yang menginginkan sepeda itu tapi ayahku.
            Matahari masuk melalui celah-celah korden dan jendela yang tertutup. Menelusuk sampai kulit terluarku. Disambut pula oleh deringan alarm milikku. Eh, masih ada lagi ternyata, suara apaan itu? Sepertinya suara papa dan mama, tapi gak biasa-biasanya mereka ngobrol. Lebih baik aku tengok aja mereka. Sambil menguap perlahan-lahan aku kendurkan saraf-saraf dan otot yang ada di tubuhku. Kuturuni tangga lalu pemandangan apakah yang kulihat. Papa dan mama bertengkar heboh. Aku langsung berlari dan melerai mereka yang mulai memainkan tangan mereka. “Ada apa pa, ma?” tanyaku hati-hati. Mereka semula saling melirik tajam, setelah mendengar pertanyaanku, mata mereka agak meredup. Mama memulai pembicaraan, “Eka, kamu gak sekolah? ini kan sudah jam berapa” mama terdengar mengalihkan pembicaraan tadi. Mau bagaimana lagi, aku sebagai anak harus menurut pada kedua orangtua apalagi mama. “iya ma, tapi…”. “Apa lagi Ka?!” bentak mama, aku langsung lari dengan badan agak bergetar. Mata itu, teriakan itu, tak pernah kubayangkan sebelumnya mama menjadi galak. Otakku berputar tak karuan. Banyak sekali bayangan melintas dibenakku. Aku tak ingin memikirkan ini! Badanku serasa lemas, mungkin berbaring sebentar membuatku tenang. Setelah itu, aku bergegas mandi, mengenakan seragam dan syyuuutt….. melesat pergi ke sekolah. Sebelum sampai depan rumah, biasanya aku bersalaman dengan mama dan papa, atau lebih dikenal dengan salim. Tapi, semenjak kejadian 15 menit lalu, batang hidung mereka tidak nongol lagi, kemana mereka?. Aku menarik nafas dan berusaha menganggap semua masa bodo. Aku segera berangkat dengan sepeda mini pemberian papa dengan hati yang yah.. sedikit bergemuruh.
            “Assalamu’alaikum….” Katanya pelan, membuyarkan lamunanku yang sedang duduk di rerumputan hijau belakang sekolah. “Wa’alaikum salam”jawabku. Dia Mira, sahabat satu-satunya yang kumiliki. Tak seperti teman-teman lain, mereka kadang bergandengan bersama, berkelompok setidaknya 5 orang dan aku menginginkannya, seperti mereka. Terkadang aku ingin meninggalkan sobat karibku ini karena aku bosan, kemana-mana slalu berdua, ke kantin, ke perpustakaan, sampai ke mall kita selalu berdua. Tapi sepertinya Mira tak pernah keberatan ataupun bosan denganku, entahlah, mungkin karena dia orangnya gak supel seperti aku. Memandang wajahnya aku tak tega menjauhi apalagi harus bermusuhan selamanya. Ya, itulah namanya sahabat sejati. “Kenapa sih Ka, mukamu kok di tekuk?” tanyanya dengan logat Jawa yang masih kental. Walaupun tiga tahun bersekolah di daerah berpenduduk Madura, dia tak pernah berubah, masih kalem, ramah dan tidak pelit senyuman. Aku kadang iri padanya. Dia dari keluarga baik-baik, tidak seperti aku, punya keluarga berantakan, entah kapan kedua orangtuaku sadar akan kasih sayang yang semakin pudar. “Eka…” katanya lagi. “Eh.. iya Mir?” jawabku gelagapan. “hemm… Eka, kamu kayaknya hobi ngelamun ya?”. “Enggak kok, emangnya kenapa?”. Mira agak memanyunkan mulutnya ketika mendengar jawabanku. “Wong tadi kamu gak jawab pertanyaanku”. Dahiku mengerut, “Oh… gak papa, ngeliat alam rasanya seger banget. Rasanya pengen tetep disini terus” kataku menjelaskan sambil menghirup udara sejuk. “Oh..” jawabnya singkat. “Mir,” kataku, aku seperti ingin curhat sesuatu pada Mira, tapi apa ya. “Ada apa?” jawab Mira seakan tau apa yang kumaksud. “Ehm, gak, gak jadi” kataku mengeles. “Kamu ada masalah ya Ka?” Tanya Mira tiba-tiba. Mata Mira menyentakku. Apa aku harus mengatakan padanya kalau aku gak pengen temenan sama dia lagi. Masa sih harus kukatakan, itu bisa membuatnya sakit hati. “Mir, aku.. aku pengen makan bakso. Nanti janjian yuk! Lagi pengen nich…!” kataku berbohong. “Oke!” jawabnya sambil memberi kode dengan jarinya. Aku menghembuskan nafas bohong ini jauh-jauh.
            Pulang sekolah aku langsung pulang kerumah karena udah janji sama Mira supaya gak telat. Sambil membuka pintu aku mengucapkan salam. Betapa terkejutnya diriku ketika melihat seorang lelaki asing duduk di sofa ditemani oleh mama yang sibuk menyisiri rambut lelaki tak dikenal itu. Marahku pun meledak “Mama! Siapa orang ini?!” tanyaku gak karuan sambil menunjuk kearah lelaki itu. Mama terlihat bingung dengan kedatangan mendadakku. “Ss, sayang.. ini teman mama, namanya Om Rio”. “Apa?! Temen?! Aku gak percaya! Masa temen harus pegang-pegangan tangan sih ma?!” teriakku menggema seisi rumah. “aku benci mama!” aku berlari menuju kamar dan tak menghiraukan panggilan mama. Tas, sepatu,dan hp kubiarkan berserakan. Hatiku kalut, sedih, marah, kecewa, dendam, campur aduk jadi satu. Air mataku terus mengalir deras membasahi bantal biru kesayanganku. Tiba-tiba aku merasakan kepalaku berdenyut-denyut lalu semua tampak samar dan aku pingsan.
            Sore itu Mira datang ke rumahku. Ketika aku sudah siuman, dia langsung melontarkan pertanyaan-pertanyaan sepanjang mungkin, aku sampai tak bisa menjawabnya, “ Mir, satu-satu dong tanyanya!” kataku kesal. Mira tersenyum, “Iya… Kenapa kamu bisa pingsan Ka?” tanyanya membuatku tergerak. “Hem? Gak papa, mungkin kecapean”. “ masa kecapean, kan gak ada kegiatan apapun setelah pulang sekolah”. Aduh, Mira seperti mendorongku supaya berbicara yang sebenarnya. “Gak tahu ah! Yang penting kan sekarang udah gak papa”. “Oh ya, kita jadikan makan baksonya?” Tanyanya mengganti topik pembicaraan. “ Jadi dong!”. Lets go!
            Makan bakso gak selera. Melamun lebih selera mungkin buatku. “Kamu kenapa Ka?”. Lamunanku pun buyar seketika, “hem? Oh, ini ni baksonya enak jadi kebayang-bayang rasanya ampe otak”. “hahaha.. gitu ya” jawabnya. Aku hanya meringis. “Eka… katanya besok di sekolah ada murid baru ya” tanyanya, “Eka…”. “Eh ada apa Mir?” jawabku terbata-bata setelah di tegur Mira. “Hemm…. Ya udah deh besok aku ceritain. Kamu kayaknya lagi gak konsen ya Ka?” tanyanya lagi. “Iya Mir… Oh ya Mir, aku ada janji nih sama papa, ya udah ya bye!” kataku menyudahi pembicaraan karena aku gak mau Mira tanya macem-macem. Mira membalas dengan melambaikan tangan juga.
            “Mira!” teriakku padanya. “hey!” teriaknya juga dengan melambaikan tangannya padaku. Aku mendekatinya, “Mir, katamu pingin ngomong sesuatu. apa?” tanyaku. Mira tampak berfikir, “Oh, yang kemaren, itu lho, katanya sekolah kita kedatangan murid baru. Kata temen-temen sih anaknya laki-laki. kata mereka juga, dia tampan, putih, pokoknya cool deh!” kata Mira panjang lebar. Mendengarnya saja, aku seperti sudah tahu tingkah laku dan karakternya. Pasti dia anaknya sombong, sok tampan, dan yang pasti playboy. “Ka, udah bel, yuk masuk!” ajak Mira memecahkan lamunanku. Aku dan Mira memasuki kelas dengan sumringah. Entahlah, mungkin karena gosip cowok tadi.
            Kelas pun dimulai. Tapi tak ada tanda-tanda Bu Diah masuk ke kelas, dia guru Fisikaku, dia baik, sabar, dan bijaksana, dia juga guru faforitku. Bu Diah tidak biasanya datang terlambat, dia pasti nomor satu, tapi kenapa sekarang malah telat? Apa dia sakit?. Tebakanku itu ternyata salah, dia memang telat, tapi dia tidak kenapa-kenapa, malahan dia membawa seseorang di belakangnya, laki-laki berpostur tinggi, putih, cool, dan tampan. Siapa lagi kalau bukan lelaki yang diceritakan Mira tadi pagi, sebab di mataku dia sangat asing. “Hei anak-anak… Bu guru ingin memperkenalkan murid baru pada kalian. Ayo nak perkenalkan dirimu” kata Bu Diah menyuruhnya berbicara. Dia agak gugup, “hhalo semua…” katanya lalu dijawab oleh murid sekelas dengan serempak. “Nama saya Alan, saya murid pindahan dari Banjarmasin. Bla..bla..bla…” ucapnya. Kemudian, Bu Diah memilihkan tempat duduk kosong untuk di duduki Alan dan tak di duga-duga, tempat duduk itu berada di sampingku. Kebetulan banget yah. Aku sih biasa-biasa aja, gak seperti yang lain, pada gigit jari melihat ketampanan si Alan, begitu juga dengan Mira.
            Kantin saat itu penuh, jadi aku dan Mira memutuskan untuk makan di kelas saja. Tapi sebelum kami berbalik, ada seseorang yang memanggil namaku dengan kerasnya hingga aku pun terdengar. Aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling. Aku melihat Alan melambaikan tangan ke arahku, tapi masa sih. Mungkin anak lainnya. Aku pun berpaling lagi, tapi suara itu menghentikan langkahku lagi. Ya Ampun, ternyata memang Alan yang memanggilku untuk bergabung bersamanya. Melihatnya sendirian membuatku kasihan, jadi aku dan Mira mau menemaninya makan bersama. Kami berjalan ke arahnya dan duduk di bangkunya. “ Kamu Eka kan?” tanyanya membuatku bingung, dia ini tahu apa gak sih ke aku, kalau tahu kenapa masih nanya. “em, iya” jawabku seadanya. “Dan kamu?” tanyanya pada Mira membuatku terkejut. Dia mengenaliku tapi tak mengenali Mira. Mungkin karena Mira pendiam. “Aku Mira” jawab Mira akhirnya. Alan mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa detik kami saling berdiam diri. Jadi gak enak. Aku mencoba untuk memulai berbicara, “Kamu…” kataku dan Alan bersamaan. Lho, kok bisa. “kamu dulu deh Ka” kata Alan menyilahkanku berbicara dulu. Aku jadi gerogi, “kamu, maksudku, kenapa kamu pindah jauh-jauh ke Jember?” kataku. “ya, pingin tau aja” katanya singkat sambil senyum-senyum. Kenapa anak ini? Apa dia kesambet?. “Trus, kamu mau ngomong apa?” kataku lagi. Dia agak tersentak dengan ucapanku, melihatnya aku jadi ikut-ikutan. “gak deh, gak jadi. Hehe..” katanya tertawa kecil, aku dan Mira pun ikutan tertawa. Karena Alan bersendawa sambil tertawa, kami pun tertawa lepas.
            Semenjak pertemuanku dengan Alan, aku ingin terus tersenyum, entah kenapa. Mengingatnya menjadi hati dag dig dug tak menentu dan itulah yang membuat diriku tak berhenti tersenyum. Pintu rumah terbuka lebar. Kemana semua orang? Kok sepi. Tunggu, aku mendengar suara teriakan dari dalam kamar mama dan papa. Ku hampiri kamar mereka, di lantai kedua. Nafasku terengah-engah saking cepatnya aku berlari. Kulihat dari lubang kecil di pintu kamar mama dan papa. Terdapat dua orang yang saling bertengkar hebat. Mereka mama dan papa. Hari-hari ini mereka sering berselisih. Aku mendengarkan percakapan mereka secara seksama, ada kata-kata selingkuh dan uang tapi terdengar samara-samar. Apa papa telah mengetahui kalau mama bareng sama om-om di rumah. Tapi, di situ juga ada kata-kata uang. Aku tak tahu ah. Lebih baik aku ke kamar daripada harus mendengar dialog rumit ini. Entah kenapa tiba-tiba air mataku mengalir seiring mendengar suara mereka. Ya Allah kuatkanlah hambamu.
            ‘kring…kring…’ suara bel sepeda membangunkan tidur nyenyakku. Dengan lendir yang masih melekat di dekat mulutku, aku beranjak bangun dan melihat siapa orang itu dari balik jendela. Percaya atau tidak, dia Alan!. Ngapain pagi-pagi ke rumahku?. Mana aku belum mandi lagi. Waduh… bisa gawat nih!. Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasahi muka kotorku. Setelah semua bersih, aku pergi membukakan pintu untuk Alan, sedari tadi dia mematung di depan pintu. “eh Alan, ada apa?” kataku. “Eka, anu..” katanya tergagap-gagap. “ayo masuk dulu” kataku mengajaknya duduk di sofa. Dia hanya mengangguk. “kemana orang-orang? Kok sepi.” Tanyanya. “oh.. orangtuaku semua bekerja, disini cuma ada aku dan satu pembantu” jawabku, “ngomong-ngomong ada apa kamu kesini? Pagi-pagi lagi” sedari tadi ingin kutanyakan hal ini. Dia tampak gagu, “gak papa, Cuma pengen tau rumahmu.”. “oh...” jawabku merasa aneh.


BErSamBunGG....
Maap kalo ada nama dan tempat yang kembar sama kaliann... sorryy... :D

Gimana??? Apa kalian penasaran???
Kalau nggak,, 
yaaa.... cerpennya nggak aku selesaikan
Beri komentar yang good bin the best yah...!!